Uang Riba (Sumber : Youtube)

Konsultasi Syariah - Kartu Kredit Syariah - Ustadz Ammi Nur Baits . Sumber : Youtube

Info Trading Tanpa Kartu Kredit

Info Trading Tanpa Kartu Kredit ( Tanpa Bunga/Interest) untuk menghindari adanya Riba dan terjadinya Hutang serta bunga berbunga dalam pinjaman uang. Disini kami menggunakan Kartu Debit Internasional bisa email kami di: glennyrxx@gmail.com. atau klik daftar disini Gratis . Dapatkan $25 dengan

Referensikan Teman:

Kartu Debit Master Card Intenasioal

Kartu Debit Master Card Intenasioal
Kartu Debit Master Card Intenasioal ( Gratis Pendaftaran.Referensikan ke teman dapatkan $25)

Akun Islami Octafx

Akun Islami Octafx
Akun Islami Octafx

Latar Belakang Pembuatan Blog

Latar Belakang Pembuatan Blog

Blog ini dibuat untuk menjawab pertanyaan sering muncul , keresahan, pro dan kontra di masyarakat mengenai trading. Terutama Trading dengan Platform Syariah. Hingga mampu menjawab apa Trading Syariah itu untuk apa dan apa manfaatnya untuk masyarakat. Umumnya Masyarakat mengatakan Trading itu adalah Judi. Jadi Haram Hukumnya secara Islam. Benarkah demikian. Halal atau Haramkah Trading khususnya Trading Syariah yang mulai diminati masyarakat saat ini.Dengan pendekatan referensi, artikel,dan video beserta animasi berupa multimedia (video,Teks, Gambar,Chart) diharapkan dapat memberi wawasan serta jawaban yang pasti kepada masyarakat dan untuk kita semua.
Pembuatan blog ini dengan pendekatan Open Source (OS Linux) dan Freeware Secara RealTime selama 24 jam diharapkan dapat menekan biaya pengadaan dan operasional dalam Trading Syariah. Sehingga Profit maksimum dalam Trading Syariah dapat dimaksimalkan.Semoga Profit menjadi Barokah utk semua.
Terima Kasih Kepada Narasumber yang tidak bisa disebut satu persatu dan telah memberi penjelasan via video youtube serta narasumber lain.Dengan ini sangat membantu pencerahan tentang Trading Syariah ini. Semoga Weblog ini bermanfaat untuk kita semua dan mampu memberikan kontribusi pada perekonomian Nasional Indonesia, Amien.

Penulis



Raden Glenn YR

My Trading Spirit & My Favorite Video

My VIdeo Barakolah

Sumber : Youtube

Maher Zain - Baraka Allahu Lakuma | Official Lyric Video


My Spirit & My Favorite Video Lyric

II. Tinjauan Pustaka & Referensi Multimedia ( Video, Animasi, Artikel, Grafik)

II. Tinjauan Pustaka & Referensi Multimedia ( Video,
Animasi, Artikel, Grafik)

Kompas TV Saham Syariah

Apa itu Saham Syariah ?

Apa Itu Saham Syariah?

SCOE TV: Garis Panduan Syariah dalam Perdagangan Forex by Associate Professor Dr. Aznan Hasan

Source : Youtube

Sumber : YouTube

SCOE TV: Garis Panduan Syariah dalam Perdagangan Forex by Associate Professor Dr. Aznan Hasan

Dipublikasikan tanggal 22 Feb 2015

In line with its aspiration of becoming the Global Leader in Islamic Finance,


Maybank Islamic Berhad (“Maybank Islamic”) has embarked on a high-


impact initiative, called the Shariah Centre of Excellence (SCOE).


The aim of SCOE is to be the leading reference point of Shariah best


practices in the global Islamic finance industry.

JAWABAN CAK NUN TENTANG HUKUM TRADING FOREX (Sumber : YouTube)

Sabtu, 03 Desember 2016

9 DARI 10 PINTU REZEKI MENURUT ISLAM



Rezeki adalah nilai mutlak yang harus di usahakan oleh seluruh mahluk untuk mendapatkannya dalam memenuhi dan menunjang kebutuhan hidup. Manusia merupakan mahluk yang sangat bergantung terhadap rezeki, karena tanpa rezeki yang di berikan oleh Allah swt, maka manusia tidak akan dapat bertahan hidup. Di sini penulis akan berbagi Ilmu mengenai 9 pintu rezeki yang dapat menjadi pilihan utama bagi kita untuk memperbaiki kualitas dan taraf hidup.

Banyak pilihan yang dapat kita lakukan dalam mencari rezeki Allah swt, bahkan juga ada manusia yang memilih cara yang tidak halal dalam mencari rezeki padahal masih banyak cara yang lebih baik untuk memperolehnya, yaitu dengan berdagang atau lebih di kenal dengan berwirausaha.

Berdagang merupakan salah satu cara memperoleh rezeki yang di anjurkan oleh Rasulullah saw, sebagaimana Rasulullah saw, bersabda,

"Hendaklah kalian berdagang karena berdagang merupakan sembilan dari sepuluh rezeki."
(HR. Ibrahim Al-Harbi)

Jelas dalam hadist tersebut Rasulullah saw menganjurkan kepada para umatnya untuk berdagang. Hal itu tentu sudah di buktikan dengan banyaknya para pengusaha sukses yang hartanya melimpah ruah karena hasil dari berdagang dan kalau di bandingkan dengan karyawan atau bekerja pada suatu perusahaan, maka berbeda jauh. Penghasilan dari karyawan hanya akan di terima pada saat gajian setiap minggu atau bulanan dan itupun jumlahnya dapat di prediksi, sedangkan dalam berdagang apabila barang atau jasa yang kita jual banyak di gemari oleh pembeli, maka tidak mustahil akan mendapatkan penghasilan yang akan terus meningkat setiap priodenya.

Dalam perdagangan haruslah merupakan transaksi yang mabrul dan adil agar tidak ada pihak yang merasa di rugikan. Rasulullah saw. Bersabda,

"Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur." (HR. Ahmad)

apabila berdagang tidak di iringi dengan kejujuran, maka bisa di pastikan Allah swt tidak akan memberikan rahmat dan anugerah serta kebarokahan dalam perdagangan tersebut.

Terdapat beberapa hal yang dapat membantu kita dalam menunjang usaha yang kita miliki serta dapat mendekatkan diri kepada Allah swt, antara lain :

(Sumber : http://ogasa10.blogspot.co.id/2015/04/9-dari-10-pintu-rezeki-menurut-islam.html)

9 Dari 10 Pintu Rezeki Di Perdagangan?


Alhamdulillah, shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad, keluarga dan sahabatnya.
Ada sebuah hadits yang sering tersebar di kalangan orang awam sebagai motivasi untuk berbisnis atau menjadi pedagang. Namun, disayangkan hadits ini belum diletiti akan keshahihannya. Walaupun mungkin makna perkataan tersebut benar dan sah-sah saja. Akan tetapi, sangat tidak tepat jika kita menyandarkan suatu perkataan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, padahal beliau tidak pernah mengatakannya. Karena, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bersabda,
مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Barangsiapa berdusta atas namaku dengan sengaja, maka silakan ia mengambil tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari, no. 1291 dan Muslim, no. 3).
Hadits yang kami maksudkan di atas adalah hadits berikut ini,
تِسْعَةُ أَعْشَارِ الرِزْقِ فِي التِّجَارَةِ
Sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perdagangan.
Sekarang kita akan meneliti shahih ataukah tidak hadits tersebut.
Perkataan Para Ulama Pakar Hadits
Dalam Al-Istidzkar (8/196), Al-Hafizh Ibnu ‘Abdil Barr mengisyaratkan bahwa hadits ini dha’if (lemah, ed.).
Dalam Al-Mughni ‘an Hamlil Asfar, Al-Hafizh Al-‘Iraqi pada hadits no. 1576 membawakan hadits,
عليكم بالتجارة فإن فيها تسعة أعشار الرزقة
Hendaklah kalian berdagang karena berdagang merupakan sembilan dari sepuluh pintu rezeki.
Diriwayatkan oleh Ibrahim Al-Harbi dalam Gharib Al-Hadits dari hadits Nu’aim bin ‘Abdirrahman,
تِسْعَةُ أَعْشَارِ الرِزْقِ فِي التِّجَارَةِ
Sembilan dari sepuluh pintu rezeki ada dalam perdagangan.”.Para perawinya tsiqah (kredibel). Nu’aim di sini dikatakan oleh Ibnu Mandah bahwa dia hidup di zaman sahabat, namun itu tidaklah benar. Abu Hatim Ar-Razi dan Ibnu Hibban mengatakan bahwa hadits ini memiliki taabi’ (penguat), sehingga haditsnya dapat dikatakan mursal [Hadits mursal adalah hadits yang dikatakan oleh seorang tabi’in langsung dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tanpa menyebut sahabat. Hadits mursal adalah di antara hadits dha’if yang sifat sanadnya terputus (munqothi’)].
Dalam Dha’if Al-Jaami’ no. 2434, terdapat hadits di atas. Takrij dari Suyuthi: Dari Nu’aim bin ‘Abdirrahman Al-Azdi dan Yahya bin Jabir Ath-Tha’i, diriwayatkan secara mursal. Syaikh Al-Albani berkomentar hadits tersebut dha’if.
Hadits tersebut dikeluarkan pula oleh Ibnu Abid Dunya dalam Ishlah Al-Maal (hal. 73), dari Nu’aim bin ‘Abdirrahman.[1]
Conclusion: Hadits tersebut adalah dha’if sehingga tidak bisa disandarkan pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, walaupun maknanya mungkin saja benar. Wallahu a’lam bish shawab.
Penjelasan Syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdirrahman Al-Jibrin
Beliau ditanya, “Apakah hadits ini shahih, yaitu ‘perdagangan adalah sembilan dari sepuluh pintu rezeki’ sebagaimana yang selama ini sering kami dengar?”
Syaikh rahimahullah menjawab, “Aku tidak mendapati hadits tersebut dalam kitab-kitab hadits seperti Jaami’ Al-Ushul, Majma’ Az-Zawaid, At-Targhib wa At-Tarhib dan semacamnya. Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdirrahman Al-Washabi menyebutkan dalam kitabnya Al-Barakah fis Sa’yil Harakah halaman 193, beliau menegaskan bahwa hadits tersebut marfu’ (sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Beliau juga menyebutkan beberapa hadits dha’if, namun beliau tidak melakukan takhrij terhadapnya. Sebenarnya hadits tersebut tidak diriwayatkan dalam kitab shahih, kitab sunan, maupun musnad yang masyhur. Yang nampak jelas, hadits tersebut adalah hadits dha’if. Mungkin saja hadits tersebut mauquf (sampai pada sahabat), maqthu’ (hanya sampai pada tabi’in) atau hanya perkataan para ahli hikmah. Perkataan tersebut boleh jadi adalah perkataan sebagian orang mengenai keuntungan dari seseorang yang mencari nafkah lewat perdagangan.
Sebenarnya, telah terdapat beberapa hadits dalam masalah berdagang yang menyebutkan keutamaanya dan juga menyebutkan bagaimana adab-adabnya sebagaimana disebutkan dalam kitab At-Targhib wa At-Tarhib, yang disusun oleh Al-Mundziri, juga dalam kitab lainnya. Di antara hadits yang memotivasi untuk berdagang adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,
الْبَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُورِكَ لَهُمَا فِى بَيْعِهِمَا وَإِنْ كَذَبَا وَكَتَمَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
Orang yang bertransaksi jual beli masing-masing memilki hak khiyar (membatalkan atau melanjutkan transaksi) selama keduanya belum berpisah. Jika keduanya jujur dan terbuka, maka keduanya akan mendapatkan keberkahan dalam jual beli, tapi jika keduanya berdusta dan tidak terbuka, maka keberkahan jual beli antara keduanya akan hilang,” (Muttafaqun ‘alaih)[2]
Juga pada hadits,
أَطْيَبُ الْكَسْبِ عَمَلُ الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُورٍ
Sebaik-baik pekerjaan adalah pekerjaan seorang pria dengan tangannya dan setiap jual beli yang mabrur.” (HR. Ahmad, Al-Bazzar, Ath-Thabrani dan selainnya, dari Ibnu ‘Umar, Rafi’ bin Khudaij, Abu Burdah bin Niyar dan selainnya). Wallahu a’lam.[3]
Untuk motivasi dalam berbisnis atau berdagang lainnya, silakan simak artikel rumaysho.com: http://rumaysho.com/hukum-islam/muamalah/3055-meraih-berkah-menjadi-pebisnis-muda.html.
Semoga sajian ini bermanfaat.
Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat.
وصلى الله وسلم وبارك على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين
Prepared at night after dinner, in Riyadh-KSA, 1 Muharram 1432 (06/12/2010)
By Muhammad Abduh Tuasikal (Penasihat Komunitas Pengusaha Muslim Indonesia)
Artikel www.pengusahaMuslim.com
Catatan kaki:
[1] Pelajaran di atas kami cuplik dari http://www.ahlalhdeeth.com/vb/showthread.php?t=27340
[2] HR. Bukhari no. 2079 dan Muslim no. 1532
[3] Dicuplik dari http://ibn-jebreen.com/book.php?cat=6&book=50&toc=2304&page=2139&subid=24476

(Sumber : http://pengusahamuslim.com/2043-9-dari-10-pintu-rezeki-di-perdagangan.html)



Mengenal Konsep Mudharabah

Allah menciptakan manusia makhluk yang berinteraksi sosial dan saling membutuhkan satu sama lainnya. Ada yang memiliki kelebihan harta namun tidak memiliki waktu dan keahlian dalam mengelola dan mengembangkannya, di sisi lain ada yang memiliki skill kemampuan namun tidak memiliki modal. Dengan berkumpulnya dua jenis orang ini diharapkan dapat saling melengkapi dan mempermudah pengembangan harta dan kemampuan tersebut. Untuk itulah Islam memperbolehkan syarikat dalam usaha diantaranya Al Mudharabah.

Pengertian Al Mudharabah
Syarikat Mudhaarabah memiliki dua istilah yaitu Al Mudharabah dan Al Qiradh sesuai dengan penggunaannya di kalangan kaum muslimin. Penduduk Irak menggunakan istilah Al Mudharabah untuk mengungkapkan transaksi syarikat ini. Disebut sebagai mudharabah karena diambil dari kata dharb di muka bumi yang artinya melakukan perjalanan yang umumnya untuk berniaga dan berperang, Allah berfirman:
عَلِمَ أَنْ سَيَكُونُ مِنْكُمْ مَرْضَى وَآخَرُونَ يَضْرِبُونَ فِي الْأَرْضِ يَبْتَغُونَ مِنْ فَضْلِ اللَّهِ وَآخَرُونَ يُقَاتِلُونَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ فَاقْرَءُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ
“Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari sebagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari al-Qur’an.” (Qs. Al Muzammil: 20)
Ada juga yang mengatakan diambil dari kata: dharb (mengambil) keuntungan dengan saham yang dimiliki.
Dalam istilah bahasa Hijaaz disebut juga sebagai qiraadh, karena diambil dari katamuqaaradhah yang arinya penyamaan dan penyeimbangan. Seperti yang dikatakan
تَقَارَضَ الشَاعِرَانِ
“Dua orang penyair melakukan muqaaradhah,” yakni saling membandingkan syair-syair mereka. Disini perbandingan antara usaha pengelola modal dan modal yang dimiliki pihak pemodal, sehingga keduanya seimbang. Ada juga yang menyatakan bahwa kata itu diambil dari qardh yakni memotong. Tikus itu melakukan qardh terhadap kain, yakni menggigitnya hingga putus. Dalam kasus ini, pemilik modal memotong sebagian hartanya untuk diserahkan kepada pengelola modal, dan dia juga akan memotong keuntungan usahanya. [1]
Sedangkan dalam istilah para ulama Syarikat Mudhaarabah memiliki pengertian: Pihak pemodal (Investor) menyerahkan sejumlah modal kepada pihak pengelola untuk diperdagangkan. Dan berhak mendapat bagian tertentu dari keuntungan.[2] Dengan kata lain Al Mudharabah adalah akad (transaksi) antara dua pihak dimana salah satu pihak menyerahkan harta kepada yang lain agar diperdagangkan dengan pembagian keuntungan diantara keduanya sesuai dengan kesepakatan.3 Sehingga Al Mudharabah adalah bentuk kerja sama antara dua atau lebih pihak dimana pemilik modal (Shahib Al Mal/Investor) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (Mudharib) dengan suatu perjanjian pembagian keuntungan.[4] Bentuk ini menegaskan kerja sama dengan kontribusi 100% modal dari Shahib Al Mal dan keahlian dari Mudharib.
Hukum Al Mudharabah Dalam Islam
Para ulama sepakat bahwa sistem penanaman modal ini dibolehkan. Dasar hukum dari sistem jual beli ini adalah ijma’ ulama yang membolehkannya. Seperti dinukilkan Ibnul Mundzir[5], Ibnu Hazm[6] Ibnu Taimiyah[7] dan lainnya.
Ibnu Hazm menyatakan: “Semua bab dalam fiqih selalu memiliki dasar dalam Al Qur’an dan Sunnah yang kita ketahui -Alhamdulillah- kecuali Al Qiraadh (Al Mudharabah (pen). Kami tidak mendapati satu dasarpun untuknya dalam Al Qur’an dan Sunnah. Namun dasarnya adalah ijma’ yang benar. Yang dapat kami pastikan bahwa hal ini ada dizamanshallallahu’alaihi wa sallam, beliau ketahui dan setujui dan seandainya tidak demikian maka tidak boleh.”[8]
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari pernyataan Ibnu Hazm di atas dengan menyatakan: “Ada kritikan atas pernyataan beliau ini:
  1. Bukan termasuk madzhab beliau membenarkan ijma’ tanpa diketahui sandarannya dari Al Qur’an dan Sunnah dan ia sendiri mengakui bahwa ia tidak mendapatkan dasar dalil Mudharabah dalam Al Qur’an dan Sunah.
  2. Beliau tidak memandang bahwa tidak adanya yang menyelisihi adalah ijma’, padahal ia tidak memiliki disini kecuali ketidak tahuan adanya yang menyelisihinya.
  3. Beliau mengakui persetujuan Nabi shallallahu’alaihi wa sallam setelah mengetahui sistem muamalah ini. Taqrier (persetujuan) Nabi shallallahu’alaihi wa sallamtermasuk satu jenis sunnah, sehingga (pengakuan beliau) tidak adanya dasar dari sunnah menentang pernyataan beliau tentang taqrir ini.
  4. Jual beli (perdagangan) dengan keridhaan kedua belah fihak yang ada dalam Al Qur’an meliputi juga Al Qiradh dan Mudharabah
  5. Madzhab beliau menyatakan harus ada nash dalam Al Qur’an dan Sunnah atas setiap permasalahan, lalu bagaimana disini meniadakan dasar dalil Al Qiradh dalam Al Qur’an dan Sunnah
  6. Tidak ditemukannya dalil tidak menunjukkan ketidak adaannya
  7. Atsar yang ada dalam hal ini dari Nabi shallallahu’alaihi wa sallam tidak sampai pada derajat pasti (Qath’i) dengan semua kandungannya, padahal penulis (Ibnu Hazm) memastikan persetujuan Nabi dalam permasalahan ini.[9]
Demikian juga Syaikh Al Albani mengkritik pernyataan Ibnu Hazm diatas dengan menyatakan: “Ada beberapa bantahan (atas pernyataan beliau), yang terpenting bahwa asal dalam Muamalah adalah boleh kecuali ada nas (yang melarang) beda dengan ibadah, pada asalnya dalam ibadah dilarang kecuali ada nas, sebagaimana dijelaskan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Al Qiradh dan Mudharabah jelas termasuk yang pertama. Juga ada nash dalam Al Qur’an yang membolehkan perdagangan dengan keridhoan dan ini jelas mencakup Al Qiraadh. Ini semua cukup sebagai dalil kebolehannya dan dikuatkan dengan ijma’ yang beliau akui sendiri.”[10]
Dalam kesempatan lain Ibnu Taimiyah menyatakan: “Sebagian orang menjelaskan beberapa permasalahan yang ada ijma’ padanya namun tidak memiliki dasar nas, seperti Al Mudharabah, hal itu tidak demikian. Mudharabah sudah masyhur dikalangan bangsa Arab dijahiliyah apalagi pada bangsa Quraisy, karena umumnya perniagaan jadi pekerjaan mereka. Pemilik harta menyerahkan hartanya kepada pengelola (‘umaal). Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam sendiri pernah berangkat membawa harta orang lain sebelum kenabian sebagaimana telah berangkat dalam perniagaan harta Khadijah. Juga kafilah dagang yang dipimpin Abu Sufyan kebanyakannya dengan sistemmudharabah dengan Abu Sufyan dan selainnya. Ketika datang islam Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam menyetujuinya dan para sahabatpun berangkat dalam perniagaan harta orang lain secara Mudharabah dan beliau shallallahu’alaihi wa sallamtidak melarangnya. Sunnah disini adalah perkataan, pebuatan dan persetujuan beliau, ketiak beliau setujui maka mudharabah dibenarkan dengan sunnah.[11]
Juga hukum ini dikuatkan dengan adanya amalan sebagian sahabat Rasulullahshallallahu’alaihi wa sallam diantaranya yang diriwayatkan dalam Al-Muwattha’ [12] dari Zaid bin Aslam, dari ayahnya bahwa ia menceritakan: Abdullah dan Ubaidillah bin Umar bin Al-Khattab pernah keluar dalam satu pasukan ke negeri Iraaq. Ketika mereka kembali, mereka lewat di hadapan Abu Musa Al-Asy’ari, yakni gubernur Bashrah. Beliau menyambut mereka berdua dan menerima mereka sebagai tamu dengan suka cita. Beliau berkata: “Kalau aku bisa melakukan sesuatu yang berguna buat kalian, pasti akan kulakukan.” Kemudian beliau berkata: “Sepertinya aku bisa melakukannya. Ini ada uang dari Allah yang akan kukirimkan kepada Amirul Mukminin. Beliau meminjamkannya kepada kalian untuk kalian belikan sesuau di Iraaq ini, kemudian kalian jugal di kota Al-Madinah. Kalian kembalikan modalnya kepada Amirul Mukminin, dan keuntungannya kalian ambil.” Mereka berkata: “Kami suka itu.” Maka beliau menyerahkan uang itu kepada mereka dan menulis surat untuk disampaikan kepada Umar bin Al-Khattab agar Amirul Mukminin itu mengambil dari mereka uang yang dia titipkan. Sesampainya di kota Al-Madinah, mereka menjual barang itu dan mendapatkan keuntungan. Ketika mereka membayarkan uang itu kepada Umar. Umar lantas bertanya: “Apakah setiap anggota pasukan diberi pinjaman oleh Abu Musa seperti yang diberikan kepada kalian berdua?” Mereka menjawab: “Tidak.” Beliau berkata: “Apakah karena kalian adalah anak-anak Amirul Mukminin sehingga ia memberi kalian pinjaman?” Kembalikan uang itu beserta keuntungannya.” Adapun Abdullah, hanya membungkam saja. Sementara Ubaidillah langsung angkat bicara: “Tidak sepantasnya engkau berbuat demikian wahai Amirul Mukminin! Kalau uang ini berkurang atau habis, pasti kami akan bertanggungjawab.” Umar tetap berkata: “Berikan uang itu semaunya.” Abdullah tetap diam, sementara Ubaidillah tetap membantah. Tiba-tiba salah seorang di antara penggawa Umar berkata: “Bagaimana bila engkau menjadikannya sebagai investasi modal wahai Umar?” Umar menjawab: “Ya. Aku jadikan itu sebagai investasi modal.” Umar segera mengambil modal beserta setengah keuntungannya, sementara Abdullah dan Ubaidillah mengambil setengah keuntungan sisanya.[13]
Kaum muslimin sudah terbiasa melakukan akad kerja sama semacam itu hingga jaman kiwari ini di berbagai masa dan tempat tanpa ada ulama yang menyalahkannya. Ini merupakan konsensus yang diyakini umat, karena cara ini sudah digunakan bangsa Quraisy secara turun temurun dari jaman jahiliyah hingga zaman Nabi shallallahu’alaihi wa sallam, kemudian beliau mengetahui, melakukan dan tidak mengingkarinya.
Tentulah sangat bijak, bila pengembangan modal dan peningkatan nilainya merupakan salah satu tujuan yang disyariatkan. Sementara modal itu hanya bisa dikembangkan dengan dikelola dan diperniagakan. Sementara tidak setiap orang yang mempunyai harta mampu berniaga, juga tidak setiap yang berkeahlian dagang mempunyai modal. Maka masing-masing kelebihan itu dibutuhkan oleh pihak lain. Oleh sebab itu Mudharabah ini disyariatkan oleh Allah demi kepentingan kedua belah pihak.
Hikmah Disyariatkannya Al Mudharabah
Islam mensyariatkan akad kerja sama Mudharabah untuk memudahkan orang, karena sebagian mereka memiliki harta namun tidak mampu mengelolanya dan disana ada juga orang yang tidak memiliki harta namun memiliki kemampuan untuk mengelola dan mengembangkannya. Maka Syariat membolehkan kerja sama ini agar mereka bisa saling mengambil manfaat diantara mereka. Shohib Al Mal (investor) memanfaatkan keahlian Mudhorib (pengelola) dan Mudhorib (pengelola) memanfaatkan harta dan dengan demikian terwujudlah kerja sama harta dan amal. Allah Ta’ala tidak mensyariatkan satu akad kecuali untuk mewujudkan kemaslahatan dan menolak kerusakan.[14]
Jenis Al Mudharabah
Para ulama membagi Al Mudharabah menjadi dua jenis:
  1. Al Mudharabah Al Muthlaqah (Mudharabah bebas). Pengertiannya adalah sistem mudharabah dimana pemilik modal (investor/Shohib Al Mal) menyerahkan modal kepada pengelola tanpa pembatasan jenis usaha, tempat dan waktu dan dengan siapa pengelola bertransaksi. Jenis ini memberikan kebebasan kepada Mudhorib(pengelola modal) melakukan apa saja yang dipandang dapat mewujudkan kemaslahatan.
  2. Al Mudharabah Al Muqayyadah (Mudharabah terbatas). Pengertiannya pemilik modal (investor) menyerahkan modal kepada pengelola dan menentukan jenis usaha atau tempat atau waktu atau orang yang akan bertransaksi dengan Mudharib.[15] Jenis kedua ini diperselisihkan para ulama keabsahan syaratnya, namun yang rajih bahwa pembatasan tersebut berguna dan tidak sama sekali menyelisihi dalil syar’i, itu hanya sekedar ijtihad dan dilakukan dengan kesepakatan dan keridhoan kedua belah pihak sehingga wajib ditunaikan.[16]
Perbedaan antara keduanya terletak pada pembatasan penggunaan modal sesuai permintaan investor.
Rukun Al Mudharabah
Al Mudharabah seperti usaha pengelolaan usaha lainnya memiliki tiga rukun:
  1. Adanya dua atau lebih pelaku yaitu investor (pemilik modal) dan pengelola (mudharib).
  2. Objek transaksi kerja sama yaitu modal, usaha dan keuntungan.
  3. Pelafalan perjanjian.
Sedangkan imam Al Syarbini dalam Syarh Al Minhaaj menjelasakan bahwa rukunMudharabah ada lima, yaitu Modal, jenis usaha, keuntungan, pelafalan transaksi dan dua pelaku transaksi.17 Ini semua ditinjau dari perinciannya dan semuanya tetap kembali kepada tiga rukun di atas.
Rukun pertama: adanya dua atau lebih pelaku.
Kedua pelaku kerja sama ini adalah pemilik modal dan pengelola modal. Disyaratkan pada rukun pertama ini keduanya memiliki kompetensi beraktifitas (Jaiz Al Tasharruf) dalam pengertian mereka berdua baligh, berakal, Rasyid dan tidak dilarang beraktivitas pada hartanya[18]. Sebagian ulama mensyaratkan bahwa keduanya harus muslim atau pengelola harus muslim, sebab seorang muslim tidak ditakutkan melakukan perbuatan riba atau perkara haram.[19] Namun sebagian lainnya tidak mensyaratkan hal tersebut, sehingga diperbolehkan bekerja sama dengan orang kafir yang dapat dipercaya dengan syarat harus terbukti adanya pemantauan terhadap aktivitas pengelolaan modal dari pihak muslim sehingga terlepas dari praktek riba dan haram.[20]
Rukun kedua: objek Transaksi.
Objek transaksi dalam Mudharabah mencakup modal, jenis usaha dan keuntungan.
a. Modal
Dalam sistem Mudharabah ada empat syarat modal yang harus dipenuhi:
  1. Modal harus berupa alat tukar/satuan mata uang (Al Naqd) dasarnya adalah ijma’[21] atau barang yang ditetapkan nilainya ketika akad menurut pendapat yang rojih. [22]
  2. Modal yang diserahkan harus jelas diketahui.[23]
  3. Modal yang diserahkan harus tertentu.
  4. Modal diserahkan kepada pihak pengelola modal dan pengelola menerimanya langsung dan dapat beraktivitas dengannya.[24]
Jadi dalam Mudharabah disyaratkan modal yang diserahkan harus diketahui dan penyerahan jumlah modal kepada Mudharib (pengelola modal) harus berupa alat tukar seperti emas, perak dan satuan mata uang secara umum. Tidak diperbolehkan berupa barang kecuali bila ditentukan nilai barang tersebut dengan nilai mata uang ketika akad transaksi, sehingga nilai barang tersebut yang menjadi modal Mudharabah. Contohnya seorang memiliki sebuah mobil toyota kijang lalu diserahkan kepada Mudharib(pengelola modal), maka ketika akad kerja sama tersebut disepakati wajib ditentukan harga mobil tersebut dengan mata uang, misalnya Rp 80 juta; maka modal Mudharabah tersebut adalah Rp 80 juta.
Kejelasan jumlah modal ini menjadi syarat karena menentukan pembagian keuntungan. Apabila modal tersebut berupa barang dan tidak diketahui nilainya ketika akad, bisa jadi barang tersebut berubah harga dan nilainya seiring berjalannya waktu, sehingga memiliki konsekuensi ketidakjelasan dalam pembagian keuntungan.
b. Jenis Usaha
Jenis usaha di sini disyaratkan beberapa syarat:
  1. Jenis usaha tersebut di bidang perniagaan
  2. Tidak menyusahkan pengelola modal dengan pembatasan yang menyulitkannya, seperti ditentukan jenis yang sukar sekali didapatkan, contohnya harus berdagang permata merah delima atau mutiara yang sangat jarang sekali adanya. [25]
Asal dari usaha dalam Mudharabah adalah di bidang perniagaan dan bidang yang terkait dengannya yang tidak dilarang syariat. Pengelola modal dilarang mengadakan transaksi perdagangan barang-barang haram seperti daging babi, minuman keras dan sebagainya.[26]
Pembatasan Waktu Penanaman Modal
Diperbolehkan membatasi waktu usaha dengan penanaman modal menurut pendapat madzhab Hambaliyyah.[27] Dengan dasar dikiyaskan (dianalogikan) dengan sistem sponsorship pada satu sisi, dan dengan berbagai kriteria lain yang dibolehkan, pada sisi yang lainnya.[28]
c. Keuntungan
Setiap usaha dilakukan untuk mendapatkan keuntungan, demikian juga Mudharabah. Namun dalam Mudharabah disyaratkan pada keuntungan tersebut empat syarat:
  1. Keuntungan khusus untuk kedua pihak yang bekerja sama yaitu pemilik modal (investor) dan pengelola modal. Seandainya disyaratkan sebagian keuntungan untuk pihak ketiga, misalnya dengan menyatakan: ‘Mudharabah dengan pembagian 1/3 keuntungan untukmu, 1/3 untukku dan 1/3 lagi untuk istriku atau orang lain, maka tidak sah kecuali disyaratkan pihak ketiga ikut mengelola modal tersebut, sehingga menjadi qiraadh bersama dua orang.[29] Seandainya dikatakan: ‘separuh keuntungan untukku dan separuhnya untukmu, namun separuh dari bagianku untuk istriku’, maka ini sah karena ini akad janji hadiyah kepada istri.[30]
  2. Pembagian keuntungan untuk berdua tidak boleh hanya untuk satu pihak saja. Seandainya dikatakan: ‘Saya bekerja sama Mudharabah denganmu dengan keuntungan sepenuhnya untukmu’ maka ini dalam madzhab Syafi’i tidak sah.[31]
  3. Keuntungan harus diketahui secara jelas.
  4. Dalam transaksi tersebut ditegaskan prosentase tertentu bagi pemilik modal (investor) dan pengelola. Sehingga keuntungannya dibagi dengan persentase bersifat merata seperti setengah, sepertiga atau seperempat.[32] Apa bila ditentuan nilainya, contohnya dikatakan kita bekerja sama Mudharabah dengan pembagian keuntungan untukmu satu juta dan sisanya untukku’ maka akadnya tidak sah. Demikian juga bila tidak jelas persentase-nya seperti sebagian untukmu dan sebagian lainnya untukku.
Dalam pembagian keuntungan perlu sekali melihat hal-hal berikut:
  1. Keuntungan berdasarkan kesepakatan dua belah pihak, namun kerugian hanya ditanggung pemilik modal.[33] Ibnu Qudamah dalam Syarhul Kabir menyatakan: “Keuntungan sesuai dengan kesepakatan berdua.” Lalu dijelaskan dengan pernyataan: “Maksudnya dalam seluruh jenis syarikat dan hal itu tidak ada perselisihannya dalam Al Mudharabah murni.” Ibnul Mundzir menyatakan: “Para ulama bersepakat bahwa pengelola berhak memberikan syarat atas pemilik modal 1/3 keuntungan atau ½ atau sesuai kesepakatan berdua setelah hal itu diketahui dengan jelas dalam bentuk persentase.” [34]
  2. Pengelola modal hendaknya menentukan bagiannya dari keuntungan. Apabila keduanya tidak menentukan hal tersebut maka pengelola mendapatkan gaji yang umum dan seluruh keuntungan milik pemilik modal (investor).[35] Ibnu Qudamah menyatakan: “Diantara syarat sah Mudharabah adalah penentuan bagian (bagian) pengelola modal karena ia berhak mendapatkan keuntungan dengan syarat sehingga tidak ditetapkan kecuali dengannya. Seandainya dikatakan: Ambil harta ini secara mudharabah dan tidak disebutkan (ketika akad) bagian pengelola sedikitpun dari keuntungan, maka keuntungan seluruhnya untuk pemilik modal dan kerugian ditanggung pemilik modal sedangkan pengelola modal mendapat gaji umumnya. Inilah pendapat Al Tsauri, Al Syafi’i, Ishaaq, Abu Tsaur dan Ashhab Al Ra’i (Hanafiyah).” [36] Beliaupun merajihkan pendapat ini.
  3. Pengelola modal tidak berhak menerima keuntungan sebelum menyerahkan kembali modal secara sempurna. Berarti tidak seorangpun berhak mengambil bagian keuntungan sampai modal doserahkan kepada pemilik modal, apabila ada kerugian dan keuntungan maka kerugian ditutupi dari keuntungan tersebut, baik baik kerugian dan keuntungannya dalam satu kali atau kerugian dalam satu perniagaan dan keuntungan dari perniagaan yang lainnya atau yang satu dalam satu perjalanan niaga dan yang lainnya dalam perjalanan lain. Karena mkna keuntungan adalah kelebihan dari modal dan yang tidak ada kelebihannya maka bukan keuntungan. Kami tidak tahu ada perselisihan dalam hal ini.[37]
  4. Keuntungan tidak dibagikan selama akad masih berjalan kecuali apabila kedua pihak saling ridha dan sepakat.[38] Ibnu Qudamah menyatakan: “Keuntungan jika tampak dalam mudharabah, maka pengelola tidak boleh mengambil sedikitpun darinya tanpa izin pemilik modal. Kami tidak mengetahui dalam hal ini ada perbedaan diantara para ulama.
Tidak dapat melakukannya karena tiga hal:
  1. Keuntungan adalah cadangan modal, karena tidak bisa dipastikan tidak ada kerugian yang dapat ditutupi dengan keuntungan tersebut.sehingga berakhir hal itu tidak menjadi keuntungan
  2. Pemilik modal adalah mitrra usaha pengelola sehingga ia tidak memiliki hak membagi keuntungan tersebut untuk dirinya.
  3. Kepemilikannya tas hal itu tidak tetap, karena mungkin sekali keluar dari tangannya untuk menutupi kerugian.
Namun apabila pemilik modal mengizinkan untuk mengambil sebagiannya, maka diperbolehkan; karena hak tersebut milik mereka berdua.”[39]
Hak mendapatkan keuntungan tidak akan diperoleh salah satu pihak sebelum dilakukan perhitungan akhir terhadap usaha tersebut. Sesungguhnya hak kepemilikan masing-masing pihak terhadap keuntungan yang dibagikan adalah hak yang labil dan tidak akan bersikap permanen sebelum diberakhirkannya perjanjian dan disaring seluruh bentuk usaha bersama yang ada. Adapun sebelum itu, keuntungan yang dibagikan itupun masih bersifat cadangan modal yang digunakan menutupi kerugian yang bisa saja terjadi kemudian sebelum dilakukan perhitungan akhir.
Perhitungan akhir yang mempermanenkan hak kepemilikan keuntungan, aplikasinya bisa dua macam:
Pertama: perhitungan akhir terhadap usaha. Yakni dengan cara itu pemilik modal bisa menarik kembali modalnya dan menyelesaikan ikatan kerjasama antara kedua belah pihak.
Kedua: Finish cleansing terhadap kalkulasi keuntungan. Yakni dengan cara penguangan aset dan menghadirkannya lalu menetapkan nilainya secara kalkulatif, di mana apabila pemilik modal mau dia bisa mengambilnya. Tetapi kalau ia ingin diputar kembali, berarti harus dilakukan perjanjian usaha baru, bukan meneruskan usaha yang lalu.[40]
Rukun ketiga: Pelafalan Perjanjian (Shighoh Transaksi).
Shighah adalah ungkapan yang berasal dari kedua belah pihak pelaku transaksi yang menunjukkan keinginan melakukannya. Shighah ini terdiri dari ijab qabul. TransaksiMudharabah atau Syarikat dianggap sah dengan perkataan dan perbuatan yang menunjukkan maksudnya.[41]
Syarat Dalam Mudharabah [42]
Pengertian syarat dalam Al Mudharabah adalah syarat-syarat yang ditetapkan salah satu pihak yang mengadakan kerjasama berkaitan dengan Mudharabah. Syarat dalamAl Mudharabah ini ada dua:
1. Syarat yang shahih (dibenarkan) yaitu syarat yang tidak menyelisihi tuntutan akad dan tidak pula maksudnya serta memiliki maslahat untuk akad tersebut. Contohnya Pemilik modal mensyaratkan kepada pengelola tidak membawa pergi harta tersebut keluar negeri atau membawanya keluar negeri atau melakukan perniagaannya khusus dinegeri tertentu atau jenis tertentu yang gampang didapatkan. Maka syarat-syarat ini dibenarkan menurut kesepakatan para ulama dan wajib dipenuhi, karena ada kemaslahatannya dan tidak menyelisihi tuntutan dan maksud akad perjanjian mudharabah.
2. Syarat yang fasad (tidak benar). Syarat ini terbagi tiga:
  • Syarat yang meniadakan tuntutan konsekuensi akad, seperti mensyaratkan tidak membeli sesuatu atau tidak menjual sesuatu atau tidak menjual kecuali dengan harga modal atau dibawah modalnya. Syarat ini disepakati ketidak benarannya, karena menyelisihi tuntutan dan maksud akad kerja sama yaitu mencari keuntungan.
  • Syarat yang bukan dari kemaslahatan dan tuntutan akah, seperti mensyaratkan kepada pengelola untuk memberikan Mudharabah kepadanya dari harta yang lainnya.
  • Syarat yang berakibat tidak jelasnya keuntungan seperti mensyaratkan kepada pengelola bagian keuntungan yang tidak jelas atau mensyaratkan keuntungan satu dari dua usaha yang dikelola, keuntungan usaha ini untuk pemilik modal dan yang satunya untuk pengelola atau menentukan nilai satuan uang tertentu sebagai keuntungan. Syarat ini disepakati kerusakannya karena mengakibatkan keuntungan yang tidak jelas dari salah satu pihak atau malah tidak dapat keuntungan sama sekali. Sehingga akadnya batal.
Berakhirnya Usaha Mudharabah
Mudharabah termasuk akad kerjasama yang diperbolehkan. Usaha ini berakhir dengan pembatalan dari salah satu pihak. Karena tidak ada syarat keberlangsungan terus menerus dalam transaksi usaha semacam ini. Masing-masing pihak bisa membatalkan transaksi kapan saja dia menghendaki. Transaksi Mudharabah ini juga bisa berakhir dengan meninggalnya salah satu pihak transaktor, atau karena ia gila atau idiot.
Imam Ibnu Qudamah (wafat tahun 620 H) menyatakan: “Al Mudharabah termasuk jenis akad yang diperbolehkan. Ia berakhir dengan pembatalan salah seorang dari kedua belah pihak -siapa saja-, dengan kematian, gila atau dibatasi karena idiot; hal itu karena ia beraktivitas pada harta orang lain dengan sezinnya, maka ia seperti wakieldan tidak ada bedanya antara sebelum beraktivitas dan sesudahnya.[43] Sedangkan Imam Al Nawawi menyatakan: Penghentian qiraadh boleh, karena ia diawalnya adalah perwakilan dan setelah itu menjadi syarikat. Apabila terdapat keuntungan maka setiap dari kedua belah pihak boleh memberhentikannya kapan suka dan tidak butuh kehadiran dan keridoan mitranya. Apabila meninggal atau gila atau hilang akal maka berakhir usaha terbut.” [44]
Imam Syafi’i menyatakan: “Kapan pemilik modal ingin mengambil modalnya sebelum diusahakan dan sesudahnya dan kapan pengelola ingin keluar dari qiraadh maka ia keluar darinya.” [45]
Apabila telah dihentikan dan harta (modal) utuh, namun tidak memiliki keuntungan maka harta tersebut diambil pemilik modal. Apabila terdapat keuntungan maka keduanya membagi keuntungan tersebut sesuai dengan kesepakatan. Apabila berhenti dan harta berbentuk barang, lalu keduanya sepakat menjualnya atau membaginya maka diperbolehkan, karena hak milik kedua belah pihak. Apabila pengelola minta menjualnya sedang pemilik modal menolak dan tampak dalam usaha tersebut ada keuntungan, maka penilik modal dipaksa menjualnya; karena hak pengelola ada pada keuntungan dan tidak tampak decuali dengan dijual. Namun bila tidak tampak keuntungannya maka pemilik modal tidak dipaksa.[46]
Tampak sekali dari sini keadilan syariat islam yang sangat memperhatikan keadaan dua belah pihak yang bertransaksi mudharabah. Sehingga seharusnya kembali memotivasi diri kita untuk belajar dan mengetahu tata aturan syariat dalam muamalah sehari-hari.
Demikianlah sebagian pembahasn tentang Mudharabah semoga yang sedikit ini bermanfaat bagi kita semua…
Footnotes:
  1. Lihat Al Mughni karya Ibnu Qudamah, tahqiq Abdullah bin Abdulmuhsin Al Turki, cetakan kedua tahun 1412H, penerbit Hajr. (7/133), Al Syarh Al Mumti”Ala Zaad Al Mustaqni’ karya Ibnu Utsaimin tahqiq Abu Bilal Jamaal Abdul ‘Aal, cetakan pertama tahun 1423 H, penerbit Dar Ibnu Al Haitsam, Kairo, Mesir (4/266), Al Fiqhu Al Muyassar -bag. Fiqih Muamalah- karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, Prop. DR. Abdullah bin Muhammad Al Muthliq dan DR. Muhammad bin Ibrohim Alimusaa. Cetakan pertama tahun 1425H Hal. 185, Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, karya Prof. DR Abdullah bin Muhammad Al Thoyaar, cetakan kedua tahun 1414 H, Muassasah Al Jurais, Riyaadh, KSA hal 122
  2. Al Mughni op.cit 7/133
  3. Al Bunuk Al Islamiyah Baina An Nadzoriyat Wa Tathbiq, op.cit hal 122
  4. Al Fiqhu Al Muyassar op.cit. hal 185. Hal inipun diakui PKES (pusat Komunikasi Ekonomi Syari’at) indonesia dalam buku saku perbankan Syari’at hal 37.
  5. Al Mugnhi op.cit 7/133
  6. Maratib Al Ijma’ karya Ibnu Hazm, tanpa tahun dan cetakan, penerbit Dar Al Kutub Al Ilmiyah, Bairut. hal 91.
  7. Majmu’ Fatawa 29/101
  8. Maratib Al Ijma’ op.cit hal 91-92.
  9. Naqdh Maratib Al Ijma’ karya Syeikh Islam yang dicetak sebagai foot note kitab Maratib Al Ijma hal 91-92.
  10. Irwa’ Al Gholil Fi Takhrij Ahaadits Manar Al Sabil karya Syeikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, cetakan kedua tahun 1405 H. Al maktab Islami, Baerut. 5/294
  11. Majmu’ Fatawa 19/195-196
  12. Dalam kitab al-Qiraadh bab 1 halaman 687 dan dibawakan juga oelh Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dalam Majmu’ fatawa 19/196
  13. Dinilai Shohih Oleh Syeikh Al Albani dalam Irwa Al Gholil 5/290-291
  14. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
  15. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 186.
  16. Demikianlah yang dirojihkan penulis kitab Al Fiqh Al Muyassar hal 187.
  17. Lihat Takmilah AL Majmu’ Syarhu Al Muhadzab imam nawawi oleh Muhammad Najieb Al Muthi’i yang digabung dengan kitab Majmu’ Syatrhul Muhadzab 15/148
  18. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal169.
  19. Lihat Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
  20. Lihat kitab Maa La Yasa’u Al Taajir Jahlulu, karya prof. DR Abdullah Al Mushlih dan prof. DR. Shalah Al Showi yang diterjemahkan dalam edisi bahasa Indonesia oleh Abu Umar Basyir dengan judul Fiqh Ekonimi Keuangan Islam, penerbit Darul Haq, Jakarta hal. 173.
  21. Lihat Maratib Al Ijma’ hal 92 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/143
  22. Pendapat inilah yang dirojihkan syeikh Ibnu Utsaimin dalam Al Syarhu Al Mumti’. Op.cit. 4/258Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal. 123 dan Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/144
  23. Takmilah AL Majmu’ op.cit 15/145
  24. ibid 15/146-147
  25. lihat Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 176
  26. Al Mughni op.cit 7/177
  27. fikih Ekonomi Keuangan Islam op.cit. 177
  28. lihat juga Al Mughni op.cit 7/144
  29. Takmilah Al Majmu’ op.cit 15/160
  30. ibid 15/159
  31. lihat Maratib Al Ijma’ op.cit hal 92, Al Syarhu Al Mumti’ op.cit 4/259 dan takmilah Al Majmu’ op.cit 15/159-160
  32. untuk masalah kerugian dalam Mudharabah silahkan lihat makalah Ustadz Abu Ihsan dalam mabhas ini.
  33. Al Mughni op.cit 7/138
  34. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit hal 123.
  35. Al Mughni op.cit 7/140.
  36. Ibid 7/165.
  37. Al Bunuk Al Islamiyah op.cit 123.
  38. Al Mughni op.cit 7/172
  39. Fiqih Ekonomi Keuangan Islam op.cit hal 181-182.
  40. Al Fiqh Al Muyassar op.cit hal 169.
  41. Diambil dari catatan penulis dari pelajaran fiqih dari Syeikh prof. DR. Hamd Al Hamaad ditahun keempat pada kuliah hadits di Universitas Islam Madinah tahun 1419H dan kitab Al Mughni op.cit 7/175-177
  42. Al Mughni op.cit 7/172
  43. Majmu’ Syarhu Almuhadzab op.cit 15/176.
  44. Ibid 15/191.
  45. Al Mughni op.cit 7/172
***
(Sumber : http://pengusahamuslim.com/2043-9-dari-10-pintu-rezeki-di-perdagangan.html .Penulis: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc. Artikel www.ekonomisyariat.com)
Artikel AGEA.com

Islamic Trading Policy
Islamic trading account is a specific category of trading accounts also known as interest free or swap free accounts. Islamic trading accounts permit clients of Islamic religion to trade on interest free accounts (Swap free or Rollover free) with no extra charge or penalty for the ability to trade in adherence with Islamic religious principles.
Usually, Islamic trading accounts have higher spreads, generally one point higher than the standard accounts. AGEA does not differentiate between non-Islamic and Islamic trading accounts on its default Streamster trading platform and has introduced Zero-Interest policy on all open positions, meaning that there is no overnight interest charged or paid on open positions while trading on the default trading platform.
For this reason there are no conflicts between AGEA's services and Islamic Riba prohibition on the default Streamster trading platform.
Overnight Interest as a cost of carry associated with holding a position for more than one day is charged on other platforms offered by AGEA.
Source : AGEA Broker Forex
Biaya Pelatihan Trading syari'ah Online kelas Pemula Rp5.600.000,-

Biaya Pelatihan Trading syari'ah Online kelas Lanjutan Rp10.400.000,-


Biaya Pelatihan Trading syari'ah Online kelas Profesional Rp17.200,000,-

FOREX Akun SYARIAH, Trading Online tanpa bunga/Swap.

Untuk Jadwal Konsultasi dan 

Pelatihan 

Akun Demo-Akun Real  

dan Jasa 

Bimbingan Trading 

Private Live Account bisa 

Call/WA

 (+62) 085731166616



BASIC
$10
Min. Deposit
0.01
Min. Lot
1
Max. Lot
2.5
Spread
(Start From)
Charge
Swap
Free
Commission
1:500
Leverage
1 Point
Pending Order
(Incl. TP/SL)
All
Products
.MRG
Symbol Suffix
PREMIUM
$300
Min. Deposit
0.1
Min. Lot
10
Max. Lot
0.8
Spread
(Start From)
Charge
Swap
$1
Commission
(Per 0.1 Lot)
1:200
Leverage
1 Point
Pending Order
(Incl. TP/SL)
All
Products

Symbol Suffix
SYARIAH
$3,000
Min. Deposit
0.1
Min. Lot
20
Max. Lot
0.8
Spread
(Start From)
Free
Swap
$2
Commission
(Per 0.1 Lot)
1:200
Leverage
1 Point
Pending Order
(Incl. TP/SL)
All
Products
.SY
Symbol Suffix
Source : MRG Network Management


Untuk Jadwal Konsultasi dan Pelatihan Demo dan Jasa Bimbingan Trading Live bisa Call/WA (+62) 085731166616

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Maher Zain - Ya Nabi Salam Alayka (Arabic) |

Maher Zain - Ya Nabi Salam Alayka

Sumber : Youtube

Maher Zain - Ya Nabi Salam Alayka (Arabic) | ماهر زين - يا نبي سلام عليك | Official Music Video